Operasi Woyla 1981: Pembebasan Korban Pembajakan Pesawat Garuda di Thailand
Peristiwa pembajakan pesawat Garuda
DC-9 Woyla ini terjadi selama empat hari dan menjadi peristiwa terorisme
bermotif “jihad” pertama yang menimpa Indonesia dan semoga hanya
menjadi satu-satunya dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia.
Peristiwa Woyla adalah sebuah
peristiwa dalam penerbangan maskapai Garuda Indonesia bernama “Woyla”
dengan nomer penerbangan 206, berkode ekor PK-GNJ, rute jurusan Jakarta –
Medan, namun harus transit dahulu dipelabuhan udara sipil Talangbetutu,
Palembang dan berencana akan ke Bandara Polonia Medan, tapi kemudian
pesawat itu mengalami insiden pembajakan saat lepas landas dari
Palembang.
Peristiwa ini terjadi pada hari Sabtu,
tanggal 28 Maret 1981 oleh lima orang teroris yang dipimpin Imran bin
Muhammad Zein, dan mengidentifikasi diri sebagai anggota kelompok Islam
ekstremis “Komando Jihad” adalah kelompok
ekstrimis Islam Indonesia yang ada dari tahun 1968 sampai dibubarkan
melalui aksi pembersihan oleh anggota intelijen pada pertengahan tahun
1980-an.
Penerbangan dengan pesawat DC-9 Woyla
berangkat dari Jakarta pada pukul 08.00 pagi, transit di Palembang, dan
akan terbang ke Medan dengan perkiraan sampai pada pukul 10.55.
Dalam penerbangan, pesawat tersebut tiba-tiba dibajak oleh lima orang teroris Komando Jihad yang menyamar sebagai penumpang, lalu pembajak menyuruh pilot untuk terbang ke Penang Malaysia.
Setelah mendarat sementara untuk mengisi
bahan bakar di Bandara Penang, Malaysia, akhirnya pesawat tersebut
terbang dan mengalami drama puncaknya di Bandara Don Mueang di Bangkok,
Muangthai tanggal 31 Maret 1981.
Imran bin Muhammad Zein, pemimpin ‘sel’ kelompok Komando Jihad yang melakukan peristiwa teror ini menuntut agar para rekannya yang ditahan pasca Peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat, supaya dibebaskan.
Dalam Peristiwa Cicendo, 14 anggota
Komando Jihad membunuh empat anggota polisi di Kosekta 65 pada 11 Maret
1981 dini hari. Usai peristiwa itu, sejumlah anggota Komando Jihad
ditahan dan terancam hukuman mati.
Peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla
ini menjadi peristiwa terorisme bermotif “jihad” pertama yang menimpa
Indonesia dan satu-satunya dalam sejarah maskapai penerbangan Indonesia.
Kronologi Peristiwa
Sabtu pagi 28 Maret 1981,
pesawat Garuda Indonesia GA 206 tujuan Medan tinggal landas dari
Bandara Talangbetutu, Palembang. Pembajakan bermula saat pesawat yang
dikemudikan Kapten Herman Rante mendarat sejak penerbangannya dari
Jakarta, lalu transit di Palembang.
Pesawat di piloti oleh Kapten Pilot
Herman Rante dan co-pilot Hedhy Djuantoro, dan tiga pramugari, Retna
Wiyanna Barnas, Dewi Yanti dan Lydia.
Pesawat di piloti oleh Kapten Pilot
Herman Rante dan co-pilot Hedhy Djuantoro, dan tiga pramugari, Retna
Wiyanna Barnas, Dewi Yanti dan Lydia.
Awalnya, penumpang pesawat berisi 33
penumpang dari Jakarta dan 15 penumpang tambahan dari Palembang saat
transit, jadi total 48 orang didalamnya ditambah 5 krew pesawat tersebut
(2 krew kokpit dan 3 crew kabin).
Baru saja setelah Kapten Pilot Herman Rante yang menerbangkan DC-9 Woyla lepas landas dari Pelud Sipil Talang Betutu, Palembang seusai transit untuk menuju Bandara Polonia, Medan.
Tiba-tiba dua penumpang bangkit dari
tempat duduk mereka, satu menuju ke kokpit dan menodongkan senjata.
Sedangkan satunya lagi berdiri di gang antara tempat-duduk pesawat.
Dari dalam kokpit, tiba-tiba co-pilot
Hedhy Juwantoro mendengar suara ribut di arah belakang. Baru saja akan
berpaling, seorang menyerbu ke dalam kokpit sambil berteriak, “Jangan
bergerak, pesawat kami bajak…”
Sabtu pagi 28 Maret 1981, pukul 10.10, pesawat
tersebut dikuasai oleh lima pembajak, semuanya bersenjata api. Pembajak
meminta pesawat terbang ke Kolombo, Sri Lanka. Permintaan tersebut
tidak mungkin dipenuhi, sebab bahan bakar terbatas. Pembajak lantas
mengatakan:
“Pokoknya terbang sejauh-jauhnya dari Indonesia” teriak Mahrizal, seorang pembajak.
Kemudian pesawat dialihkan ke Penang, Malaysia, untuk pengisian bahan bakar. Lalu, DC-9 Woyla meninggalkan Malaysia setelah mengisi bahan bakar, menuju ke Bandara Don Mueang, Thailand.
Ketika masih di bandara Penang Malaysia untuk mengisi bahan bakar, seorang penumpang wanita lanjut usia bernama Hulda Panjaitan.
Nenek yang berumur 76 tahun itu diperbolehkan turun oleh para teroris karena ia tak henti-hentinya menangis di dalam pesawat.
Kemudian pesawat itu terbang lagi ke
Thailand atas paksaan teroris dan adanya penerimaaan pemerintah Thailand
untuk mengizinkan pesawat tersebut mendarat di wilayahnya.
Para teroris kemudian membacakan tuntutan mereka, yaitu:
1. Anggota Komando Jihad di Indonesia yang berjumlah 80 orang sebagai tahanan politik segera dibebaskan.
2. Meminta uang sejumlah US$ 1,5 juta.
3. Orang Israel dikeluarkan dari Indonesia.
3. Adam Malik dicopot sebagai Wakil Presiden.
Mereka juga meminta pesawat itu untuk pembebasan tahanan dan untuk terbang ke tujuan yang dirahasiakan.
Mereka mengancam telah memasang bom di pesawat Woyla dan tidak segan untuk meledakkan diri bersama pesawat tersebut.
Operasi Pembebasan
Operasi pembebasan pesawat DC-9 dikenal dengan sebutan Operasi Woyla yang dimulai sehari setelah tersiarnya kabar pembajakan tersebut.
Berita pertama pembajakan tersebar pukul
10.18, saat Captain Pilot A. Sapari dengan pesawat Fokker-28 Garuda
Indonesia nomer penerbangan 145, jurusan Pekanbaru – Jakarta, yang baru
tinggal landas dari Bandara Simpang Tiga, Pekan Baru mendengar panggilan
radio dari GA 206 yang berbunyi:
“..being hijacked, being hijacked”.
Berita tersebut langsung diteruskan ke
Jakarta, berita yang mengejutkan petugas keamanan karena pada saat
bersamaan juga diadakan latihan gabungan yang melibatkan semua unsur
pasukan tempur di Timor-Timur hingga Halmahera.
Berita tersebut juga diterima oleh Wakil Panglima ABRI pada kala itu, yaitu Laksamana Sudomo yang masih berada di Jakarta.
Kelompok khusus militer Indonesia yang baru dibentuk saat itu adalah Kopassandha (Komando Pasukan Sandi Yudha – nama satuan Kopassus saat itu), meminjam sebuah pesawat DC-9 untuk mempelajari situasi.
Sudomo langsung meneruskan berita
tersebut kepada Kepala Pusat Intelijen Strategis Benny Moerdani yang
langsung menghubungi Asrama Kopasandha (Sekarang Kopassus) yang diterima
oleh Asisten Operasi Kopasandha LetKol. Sintong Panjaitan.
Benny memberitahu tentang dibajaknya
pesawat Garuda, berapa jumlah pembajak, apa motivasinya, kemana tujuan
dan apa tuntutannya masih belum diketahui.
“..yang pasti, saya langsung
diperintahkan menyiapkan pasukan”, kenang Sintong, yang pada saat itu
kakinya masih dibalut gips sehingga ia tidak bisa berangkat untuk
latihan gabungan.
Dari Thailand dikabarkan pula bahwa pesawat mendarat di bandara Don Muang, Thailand.
Latihan dan Persiapan Pasukan Anti Teror
Sabtu malam 28 Maret 1981, pukul 19.25,
di Jakarta, Kepala Bakin (sekarang BIN) Jenderal Yoga Sugomo berangkat
ke Bangkok. Menurut berita yang dia peroleh, para pembajak lima lelaki
berbicara bahasa Indonesia. bersenjatakan pistol, granat dan kemungkinan
dinamit.
Para pembajak menuntut Indonesia membebaskan tahanan Peristiwa Cicendo,
komplotan Warman serta Komando Jihad. Para tahanan diminta diterbangkan
disuatu tempat diluar Indonesia dan meminta uang sebesar 1.5 juta
dollar AS. Jika tuntutan tersebut tidak dipenuhi, mereka mengancam akan
meledakkan Woyla beserta penumpangnya.
Sabtu malam 28 Maret 1981, pukul sepuluh lebih,
Kol Teddy Rusdi, Benny Moerdani dan Sudomo diterima Presiden Suharto di
Cendana. Hasil akhir pembicaraan menyimpulkan bahwa opsi militer akan
dilakukan untuk membebaskan pesawat tersebut. Pada saat terjadinya
peristiwa ini, pasukan komando Indonesia belum memiliki pengalaman dalam
menangani peristiwa terorisme pembajakan pesawat.
Minggu 29 Maret 1981, pukul 21.00,
sejumlah 35 anggota Kopassandha meninggalkan Indonesia dalam sebuah
DC-10, mengenakan pakaian sipil. Pemimpin CIA di Thailand menawarkan
pinjaman jaket anti peluru, namun ditolak karena pasukan Kopassandha
Indonesia telah membawa perlengkapan mereka sendiri dari Jakarta.
Minggu pagi telepon di meja Benny
berdering. Dubes Amerika Serikat Edward Masters mengkhawatirkan akan
keselamatan warganya yang berada di GA 206, apabila opsi militer
dilakukan.
“I am sorry sir, but
this is entirely an Indonesian problem. It is an Indonesian aircraft”
jawab Benny. Ditegaskan Indonesia berhak mengambil segala langkah dalam
meringkus pembajak dan tidak perlu izin dari negara lain. We don’t
guarantee anything..”
Minggu 29 Maret 1981, pukul 21.00 lebih, setelah mendapat clearance
dari pemerintah Thailand. bahwa pasukan anti teror boleh mendarat,
Indonesia diizinkan mengirim pesawat terbang untuk menjemput sandera.
Benny memutuskan menggunakan Garuda DC-10 Sumatera, pesawat ini lebih
cepat dan lebih lama terbang dari DC 9.
“..karena antisipasi
pesawat yang dibajak kemungkinan akan dipakai terbang sampai ke Libya”
kenang Subagyo HS yang saat itu berpangkat Mayor di Grup IV Kopasandha.
Latihan 2 hari di hanggar Garuda dengan
pesawat DC 9, telah memantapkan tekad pasukan khusus anti teror untuk
secepatnya meringkus pembajak. Sudah dua tahun pasukan khusus anti teror
terbentuk, mereka terus berlatih tapi belum pernah punya kesempatan
muncul.
Baru kali ini, mereka akan melakukan
operasi dan yang lebih membanggakan, bertempur diwilayah negara asing.
Pasukan belum berangkat menunggu perintah Benny, penanggung jawab
operasi.
Begitu Benny datang bukan perintah
berangkat yang didengar, tetapi “Bagaimana latihan kalian?”. “Siap pak”
jawab Sintong mantap. Dalam kesempatan itu, Benny juga membagikan kotak
amunisi.
Sintong lansung ingat sewaktu Operasi Dwikora. Perlengkapan baru sering malah bisa menyulitkan. Sering terjadi peluru tidak meledak, akibat belum dibiasakan penggunaannya.
Trauma tersebut masih membekas, karena
itu dia merasa yakin, sebuah peralatan yang belum pernah dicoba serta
dibiasakan penggunaannya, bisa membahayakan. Dengan mengumpulkan segala
keberanian, Sintong kemudian berkata,
“Jangan Pak, jangan bagikan peluru tersebut. Kami belum terbiasa.”
“Lho, ini peluru bagus, yang terbaru. Gunakan saja..” Tegas Benny.
“..Kami harus mencobanya dulu.” jawab Sintong menolak.
Terlihat nada kesal dalam jawaban Benny, “..ya sudah, cobalah”
Pasukan segera mencari tempat untuk uji
coba. peluru dibagikan dan ditembakkan. Yang terdengar justru bunyi,
“Pakh, pakh,pakh..pakh”. Ternyata tidak satupun peluru meletus.
Benny terkejut menyaksikan kejadian itu.
Meski bukan kesalahannya, tetapi perasaannya lebih galau, melebihi
semuanya. Dalam hati, Sintong bergumam, “Untung belum berangkat..”
Benny langsung menyuruh anak buahnya ke
Tebet untuk mengambil amunisi baru. Pasukan khusus anti teror memang
sengaja dibekali dengan jenis peluru yang mematikan tapi tidak akan
menembus dinding pesawat. Sehingga, kalau berlangsung pertempuran dalam
kabin, dinding pesawat tidak bakal rusak.
Mengingat sifatnya, jenis peluru
termaksud hanya bisa tahan enam bulan sudah harus diganti baru. Masalah
tersebut agaknya terlalaikan petugas perlengkapan. Sesudah kiriman
peluru pengganti tiba dan diujicoba, Benny memberi isyarat untuk
berangkat. Sintong melirik jamnya, penerbangan mereka sudah tertunda
lebih dari satu jam.
Pasukan Anti Teror Tiba di Bangkok, Thailand
Senin 30 Maret 1981, dini hari, pukul 00.30,
pesawat DC-10 tiba di Don Muang dengan berkamuflase menjadi pesawat
Garuda yang baru terbang dari Eropa. Pesawat diparkir dilokasi yang agak
jauh dari Woyla.
Kendaraan pasukan angkatan udara Thailand
tiba, dan seorang perwira penghubung membawa Benny menemui Menlu
Thailand Siddi Savitsila. Perundingan yang deadlock menyebabkan clearance
untuk menyerbu pesawat tidak bisa diberikan, maka menlu Thailand
mempertemukan Benny dengan PM Thailand Prem Tinsulanonda esok paginya.
Senin 30 Maret 1981, pagi, pukul 06.00, Benny
bersama Yoga Sugomo, Dubes Indonesia untuk Thailand Habib dan Dirjen
Perhubungan Udara Sugiri bertemu PM Thailand dikediaman resminya.
Dalam pertemuan tersebut, pada awalnya
pemerintah Thailand tidak bersedia memberi izin operasi militer,
sementara pemerintah Indonesia tetap meminta izin Thailand, untuk
menyelesaikan sendiri pembajakan tersebut.
Akhir perundingan, PM Prem menyatakan akan memberi keputusan pada pukul 11 hari itu juga.
“Saya selalu menganggap nasi goreng Bangkok terenak di dunia”, ujar Benny.
Maka Benny ditemani Kolonel Rosadi, atase
pertahanan makan pagi, sementara lainnya pulang ke hotel. Ditempat itu
Benny bertemu dengan Chief Station CIA untuk Thailand.
Dalam pembicaraan yang berkembang, Benny kemudian meminjam flak jacket, (jaket/rompi antipeluru) karena lupa membawa dari Jakarta. Tapi ternyata didalam pesawat DC-10 sudah tersedia, maka flak jacket
itu tidak jadi dipakai. Meski nantinya memunculkan wacana, seolah-olah
AS memberi bantuan peralatan tempur kepada pasukan Indonesia.
Selepas tengah hari clearance
untuk menyerbu sudah diberikan oleh PM Prem, Benny menetapkan, serbuan
akan dilakukan sebelum fajar. Tak lupa pula dia meminta petugas Garuda
di Don Muang menyiapkan 17 peti mati.
Sementara itu suasana tegang semakin ganas dengan menetapkan deadline atas tuntutan mereka, Yoga dengan sabar melayani segala macam tuntutan tersebut sambil mengulur waktu.
Ketegangan yang sama juga terasa di kabin
DC-10, menunggu adalah pekerjaan yang paling menjengkelkan. Tanpa ada
pemecahan maka anak buahnya akan tegang tanpa guna, maka Sintong
memerintahkan anak buahnya untuk tidur.
“Hampir semuanya langsung tertidur, merasa lepas dari beban. Mereka saling mendengkur, adu keras..”
Senin 30 Maret 1981, malam hari,
pasukan anti teror satu demi satu turun dari pesawat DC-10. Sekali lagi
mereka melakukan latihan ulangan menggunakan DC-9 Digul. Pada
kesempatan tersebut, Sintong mengajak pilot Garuda untuk ikut menonton.
Sebelum Sintong turun dari pesawat,
Sintong sudah memutuskan untuk membuang tongkat penyangga kakinya. “..
masa, perwira komando, memimpin operasi dengan tongkat.”
Latihan ulangan berlangsung dengan baik,
semua anggota tahu apa yang harus dilakukan, Sintong memperkirakan dalam
lima menit pasukannya sudah dapat menguasai pesawat.
Begitu latihan selesai, seorang pilot Garuda mendekati Sintong, “Pak.. maaf Pak”. ” Ya ada apa?” tanya Sintong ingin tahu.
”Tadi waktu bapak latihan, memang
semuanya bisa demikian, kalau pintu samping dibuka dari luar, dengan
mudah anak buah bapak bisa menyerbu masuk. Tetapi kalau pintu darurat
yang dibuka, yang langsung keluar karet peluncur untuk pendaratan
darurat..”
“Yailah..” teriak Sintong. “Terimakasih,
.. terimakasih” Bisa dia bayangkan, tanpa ada pemberitahuan tersebut,
dalam penyerbuan masuk ke kabin, anak buahnya pasti berhamburan
terlempar ke bawah dari pintu darurat, dihantam tangga peluncur emergency.
Sekali lagi latihan diulang. Faktor
munculnya tangga penyelamat dari pintu darurat, diperhitungkan. Dengan
masukan tambahan tersebut, Sintong justru menemukan langkah penangkal.
Begitu pintu darurat dibuka dari luar, seorang anggota wajib menahan
munculnya tangga pendaratan darurat. Pada saat bersamaan, anggota lain
sudah harus menyerbu masuk kabin.
Benny memutuskan serangan dilakukan pada
pukul 03.00. Jarum jam menunjukkan pukul 02.00, pasukan sudah siap
dengan perlengkapan tempur, pakaian loreng dan baret merah. Briefing terakhir sudah selesai. “Tunggu apa lagi? Saya segera perintahkan, berangkat…” kenang Sintong.
Sementara di dalam pesawat yang dibajak,
para teroris sudah mulai lelah. Menurut para penumpang yang akhirnya
menjadi saksi-mata, para pembajak mulai menceritakan keluh-kesah mereka,
tentang anaknya, istrinya atau keluarganya.
Hal ini membuat para pembajak mulai lengah. Pada saat itu seorang penumpang warga negara Inggris bernama Robert Wainwright, berusia 27 tahun, memanfaatkan situasi itu.
Ia berhasil melarikan diri dengan cara membuka pintu darurat, loncat keluar dari pesawat, dan berhasil selamat.
Enam jam kemudian, seorang warga negara
Amerika bernama Schneider, berusaha melarikan diri, namun tertembak dan
tersungkur di aspal disaksikan istrinya, Carol Schneider.
Setelah peristiwa itu, para pembajak
marah besar. Mereka pengumpulkan semua penumpang dibagian depan pesawat
dan tidak ada yang boleh berbicara.
Penyerbuan ke Pesawat Woyla
Selasa 31 Maret 1981, dini hari, pukul 02.30, prajurit bersenjata mendekati pesawat secara diam-diam. Mereka merencanakan agar Tim Merah dan Tim Biru memanjat ke sayap pesawat dan menunggu di pintu samping. Semua jendela pesawat telah ditutup. Tim Hijau akan masuk lewat pintu belakang. Semua tim akan masuk ketika kode diberikan.
Mereka dijemput mobil. Untuk menjaga
kerahasiaan, seluruh pasukan diminta berbaring dilantai kendaraan. “Saya
duduk di atas anak-anak, injek-injekan” kata Benny. Sintong sangat
terkejut, ketika pasukan sudah meninggalkan mobil dan berjalan menuju
Woyla, tiba-tiba saja Benny menyusup masuk ke dalam barisan. Ini diluar
skenario.
Tubuh Benny terlihat jelas, ditengah
deretan pasukan berseragam. Dia memakai jaket hitam, tangan kanannya
memegang sepucuk pistol mitraliur. Perwira tinggi tersebut nampak
menonjol karena satu-satunya yang tidak berseragam dan tidak juga
memakai baret merah.
Sambil berbisik, Sintong memerintahkan
anak buahnya yang jalan paling dekat. “So, Roso, keluarkan dia. Jangan
biarkan Pak Benny ikut..”. “Pak, saya nggak berani”, jawab Letnan
Suroso, juga dengan berbisik.
Sementara itu dalam pikiran Benny, “Tempat terbaik bagi saya, harus bersama mereka..”
Tentu saja dia mengabaikan kenyataan, bahwa dirinya seorang jenderal dengan tiga bintang.
Benny juga bukan komandan lapangan, yang
memang harus selalu ikut menanggung resiko menghadang maut digaris
depan. Dia juga tidak mempedulikan, kemungkinan peluru nyasar, justru
akan bisa menyeret akibat fatal.
Tetapi Benny tetap dalam doktrin
pribadinya. Seorang pemimpin harus bersama anak buah. Sesuatu yang
memang sudah dia buktikan selama terjun dalam berbagai palagan.
“Saya beranggapan, nilai politik
psikologinya besar sekali. kalau pun saya ikut mati tertembak, tetap
bisa membuktikan, pemerintah Indonesia tidak pernah menyerah dalam
menghadapi tuntutan pembajak.”
Selasa 31 Maret 1981, dini hari, pukul 02.43,
Tim Thailand ikut bergerak ke landasan, menunggu di landasan agar tidak
ada teroris yang lolos. Kode untuk masuk diberikan, ketiga tim masuk,
dengan Tim Hijau terlebih dahulu, mereka berpapasan dengan seorang teroris yang berjaga di pintu belakang.
Selasa 31 Maret 1981, dini hari, tepat pukul 02.45,
serbuan dimulai. Menurut kesaksian penumpang, dalam kegelapan malam,
semua pintu kabin pesawat segera terdengar didobrak dari luar. Sekejap
kemudian bunyi tembakan riuh membangunkan seluruh isi pesawat.
Dalam skenario awal, pasukan anti teror
akan mendobrak pintu depan kiri. Disusul pendobrakan bersama, pintu
darurat dan belakang. Setelah tahap ini selesai, seluruh pasukan
serentak menyerbu ke kabin. Skenario tersebut tidak sepenuhnya
terlaksana berurutan.
Pembantu Letnan Achmad Kirang dari arah
pintu belakang sudah terlanjur masuk sebelum pintu depan didobrak.
Pembajak yang berjaga di bagian belakang sempat terjaga dan langsung
menembak. Akibatnya, Kirang tidak sempat menunduk ketika sebuah peluru
menembus tubuhnya. Tepat kena perut, bagian yang tidak tertutup flak jacket.
Teroris tersebut menembak dan mengenai Achmad Kirang, salah seorang anggota Tim Hijau di bagian bawah perut yang tidak terlindungi. Teroris tersebut kemudian ditembak dan tewas di tempat.
Tim Biru dan Tim Merah
masuk, menembak dua teroris lain, sementara penumpang menunduk. Para
penumpang kemudian disuruh keluar. Seorang teroris dengan granat tangan
tiba-tiba keluar dan mencoba melemparkannya tetapi gagal meledak. Lalu
anggota tim menembak dan melukainya sebelum dia sempat keluar.
Teroris terakhir dinetralisir di luar
pesawat. Imran bin Muhammad Zein selamat dalam peristiwa baku tembak
tersebut dan ditangkap oleh Satuan Para Komando Kopassandha.
Dalam pertempuran singkat di dalam
pesawat tidak semua pembajak langsung tertembak mati. Sementara itu
Achmad Kirang dan Captain Herman Rante justru luka parah kena peluru.
Tim medis kemudian datang untuk menyelamatkan pilot pesawat DC-9 Woyla, Kapten Herman Rante, yang ditembak salah satu teroris dalam serangan tersebut.
Hendrik Seisen, seorang penumpang berkewarganegaraan Belanda melukiskan:
“I woke up when I heard
a lot of noise and what certainly looked like shooting. It seemed like
in the time of two seconds the whole plane filled up with commandos..”
Seisen menambahkan:
“When the shooting started we ducked below the seats. I didn’t want to look. I was terrified”
Drama pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla tersebut berlangsung empat hari di Bandara Don Mueang Bangkok dan berakhir pada tanggal 31 Maret setelah serbuan kilat Grup-1 Para-Komando yang dipimpin Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan.
Dengan cepat semua sandera dibebaskan. Pesawat Woyla sepenuhnya sudah dikuasai Kopasandha.
Mimpi buruk yang dialami semua awak
pesawat dan penumpang sejak Sabtu pagi, berakhir Selasa dini hari.
Begitu Woyla sudah berhasil dikuasai, Benny menyambar mic kokpit.
“This is two zero six, could I speak to Yoga please?”
“Yes, Yoga here”
“Pak Yoga, Benny ini..” teriak Benny.
“Diancuk. Neng endi kowe..?” tanya Yoga sambil mengumpat.
“Dalam pesawat Pak”
“Jangan main-main kamu..”
“Saya memang dipesawat. Sudah selesai semua, beres..”
Kecuali anggota pasukan yang dia pimpin,
Benny memang tidak menceritakan rincian rencana penyerangan pembajak
yang dia rancang. Juga tidak kepada Yoga.
Kala itu, tiga pembajak tewas seketika
ditangan pasukan penyerbu. Dua pembajak lain menderita luka parah.
Tetapi yang paling melegakan seluruh penumpang tidak ada satu pun
mengalami cedera berarti.
Sementara Achmad Kirang meninggal tanggal
1 April dalam perawatan di RS Bhumibhol, Bangkok, begitu pula Captain
Herman Rante, meninggal di Bangkok, enam hari setelah operasi
penyergapan berlangsung.
Pilot pesawat Garuda, Kapten Herman Rante
dan Achmad Kirang, salah satu anggota satuan Para-Komando Kopassandha,
meninggal dalam baku tembak yang berlangsung selama operasi kilat
pembebasan pesawat tersebut.
Kedua korban peristiwa terorisme ini kemudian dimakamkan di TMP Kalibata.
Operasi kontra terorisme ini dilakukan oleh Grup-1 Para-Komando dibawah pimpinan Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan.
Hasil dari baktinya, ia beserta timnya
dianugerahi Bintang Sakti dan dinaikkan pangkatnya satu tingkat, kecuali
Achmad Kirang yang gugur di dalam operasi tersebut, dinaikkan
pangkatnya dua tingkat secara anumerta.
Pasca Pembajakan
Selasa 31 Maret 1981, setelah subuh, pukul 05.00,
pesawat DC-10 Sumatera meninggalkan Don Muang, membawa pulang pasukan
khusus anti teror. Dua pembajak yang luka parah tidak sempat
diselamatkan nyawanya oleh tim kesehatan Kopasandha. Sehingga kelima
mayat pembajak, Machrizal, Zulfikar, Wendy M Zein, Abu Sofyan dan
Imronsayah, langsung diterbangkan ke Jakarta pagi itu pula.
Dari udara, pemandangan kota Jakarta
siang itu terasa elok. Sejak pagi masyarakat sudah dibangunkan dengan
berita radio sekitar keberhasilan pasukan khusus anti teror menyergap
pembajak Woyla.
Semua bangga, drama mencekam selama tiga
hari akibat pembajakan telah berakhir, Pemerintah Indonesia terbukti
tidak mau menyerah kepada pembajak. Kabar tersebut menjadikan warga
Jakarta berbondong – bondong ke Bandara Halim Perdanakusuma.
Selasa 31 Maret 1981, pagi hari, pukul 08.00,
lebih beberapa menit, roda-roda pesawat DC-10 Sumatera menyentuh
landasan Halim Perdanakusuma. Benny dengan wajah serius tanpa senyum,
menyelinap keluar dari pintu di ekor pesawat, tanpa memperhatikan
sambutan ratusan penjemput.
Baju safari warna gelap yang dia pakai,
sangat kontras dengan seragam loreng berbaret merah pasukan khusus
antiteror yang keluar dari pintu depan.
Pagi harinya, koran The Asian Wall Street Journal menulis:
“It isn’t that
Indonesians don’t deserve the same credit and honor that Israel and the
West German commandos earned for similiar gallantry at Entebbe and
Mogadishu. it is a pity because there is abroader point to be made”.
Tajuk rencana koran The Asian Wall Street Journal
tersebut segera menambahkan, negara-negara dunia ketiga selalu dianggap
tidak pernah memiliki disiplin dan tidak bisa bekerja dengan efisien.
Demikian juga umumnya komentar terhadap penampilan tentara Indonesia.
“well it took a high order of soldiering to rescue a plane load of hostages without taking one innocent life”.
Lebih lanjut koran tersebut menunjukkan,
“From hijack to the
last gun shot, the entire operation lasted about 60 hours. It required a
high degree of organisation and planning. It also required courage,
efficiency and discipline”.
Seorang anggota pasukan anti teror, TJP Purba ketika diwawancara koran The Bangkok Post mengatakan,
“Our principle is simple, silent, decisive and aggressive”
Imran bin Muhammad Zein selaku otak
peristiwa pembajakan pesawat DC-9 ini kemudian dijatuhi hukuman mati
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 1981.
Imran merupakan salah seorang yang
terlibat dalam Peristiwa Cicendo bersama Maman Kusmayadi, Salman Hafidz,
serta 11 orang lainnya.
Begitu pula dengan Maman dan Salman, yang bernasib sama dengan Imran, dan dieksekusi hukuman mati.
Sebagai tambahan informasi, pasukan
Kopasandha yang melakukan penyerbuan pesawat Woyla menjadi embrio
terbentuknya unit anti-teror di Kopassus saat ini, yaitu SAT-81 Gultor.
(sumber: wikipedia/kutipan tentang
pembajakan pesawat Woyla, satu-satunya pembajakan pesawat yang terjadi
di Indonesia, yang dikutip dari buku biografi Benny Moerdani/berbagai
sumber)